Belajar Dari Bapak Pendidikan

Ada yang tahu siapa Bapak Pendidikan Nasional ?. Ya, tepat sekali . Dia adalah Ki Hadjar Dewantara. Nama asli beliau RM Suwardi Surjaningrat. Ki Hadjar Dewantara adalah peletak pertama tonggak pendidikan nasional. Lewat taman siswanya, Ki Hadjar berhasil membangun rumah besar bagi pendidikan rakyat . Tak hanya itu, Ki Hadjar sukses memancang falsafah Pendidikan nasional . Meski benar, falsafah demi falsafah apik itu kian memudar warnanya hari ini.

Bagi Ki Hadjar Dewantara, seorang guru atau pamong memiliki dua kewajiban prinsipal yakni mengajar dan mendidik. Mengajar berarti memberi ilmu pengetahuan, menuntun gerak-pikiran serta melatih kecakapan atau kepandaian peserta didik agar bisa menjadi seorang yang pandai, berpengetahuan luas dan cerdas. Sedangkan Mendidik berarti menuntun tumbuhnya budi pekerti dalam hidup anak didik, agar kelas menjadi manusia yang berpribadi yang beradab dan susila (Soeratman: 1980,77).

Dalam bahasa lain, seorang guru tak hanya bertugas untuk memperhatikan IQ (intelegensi quotient), tapi juga sisi EQ (emotional quotient) tiap peserta didiknya. Tak hanya soal kecerdasan dan peringkat kelas, tapi bagaimana tiap peserta didik mampu membawa budi pekerti dan sikap yang baik dalam kehidupan nyata.

Menurut Ki Hadjar, keluhuran dan kehaluasan budi adalah dua sifat yang nampak dalam hidup manusia. Maka sejak kecil tiap anak harus mulai diperkenalkan pada keluhuran budi dan kehalusan budi ini, dengan mengedepankan pendidikan agama, mengenalkan anak pada kisah heroik pahlawan negri, kisah pewayangan, babad dan legenda. Mengenalan watak dan laku utama tiap tokoh itu, agar anak didik bisa mengerti mana karakter yang baik dan buruk.

Ki Hadjar berkeyakinan bahwa pelajaran moral dan kesusilaan akan berharga apabila dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Belajar dari Taman Siswa, disana bisa dapati kedekatan yang amat sangat antara seorang guru dengan anak .Ki Hadjar Dewantara menerapkan asas kekeluargaaan di perguruan taman siswa. Prof. Bunche dari Howard University Wahsington, dalam kunjungannya di Yogyakarta, medio 1938 mengakui bahwa dirinya belum pernah melihat hubungan kekeluargaan yang begitu laras antara murid dan guru dibanding di taman siswa.

Komentar